Lima tahun lalu sekitar tahun 2019, kos harga Rp 2 juta di Jakarta mungkin masih tergolong mewah. Tapi sekarang tak lagi. Bahkan kos yang layak dan nyaman saja belum tentu bisa didapatkan dengan harga seperti itu.
Harga kos di Jakarta, khususnya Jakarta Selatan, bisa dibilang gila-gilaan. Sejak sekitar 2019, bisnis sewa hunian kos kosan mulai dikuasai pemain perusahaan proptech (property technology) yang tak hanya menjual ruang tinggal tapi juga pelayanan dan gaya hidup maka harga sewa semakin terkerek tinggi karena semua pelayanan itu dibebankan pada konsumen dan diskon bila ada dibebankan pada pemilik.
Terutama dengan alogarithma yang mereka terapkan. Apabila diharga yang mereka terapkan masih bisa tersewa maka harga bagi yang berikutnya akan dinaikan kelevel yang lebih tinggi demi mencapai target penjualan yang lebih tinggi lagi. Di Amerika bahkan kongres telah melakukan investigasi atas permainan harga kartel perusahaan proptech ini
Mencari hunian sewa di situs web mereka bikin tercengang. Belum apa-apa, halaman depannya menampilkan deretan kos harga Rp 4 juta, Rp 6 juta, Rp 7 juta. Padahal UMR Jakarta 2024 saja Rp 5.067.381. Menurut sebagian perencana keuangan, idealnya, biaya sewa tempat tinggal tak lebih dari 30 persen gaji.
Bila melakukan pencarian spesifik, misalnya, menerapkan filter ‘dekat stasiun MRT’ dan batas maksimal harga Rp Rp 2,5 juta, hasil pencariannya bisa sangat sedikit atau bahkan tidak keluar. Jangan pula langsung senang bila menemukan kos dengan harga di bawah Rp 2 juta dan thumbnail-nya bagus, sebab selalu ada embel-embel “mulai” pada harga.
‘Mulai Rp 1,8 juta’, misal, tetapi foto kos yang tampak luas, terang, berjendela, dan estetis itu ternyata untuk tipe ruangan yang harganya Rp 3,5 juta. Sementara, harga Rp 1,8 juta bisa jadi cuma ruangan seluas 2 x 3 meter, tanpa jendela atau dengan jendela berukuran mini menghadap ke lorong, atau kamar cukup luas tapi kamar mandinya di luar, atau cat dinding kamarnya mencolok, atau perabotannya tidak indah.
Hal ini terjadi karena maraknya pemain kos kosan baru yang merubah peruntukan ruko menjadi hunian sewa seperti rumah petak sehingga membuat kos kosan tersebut menjadi tidak layak huni.
Nadia (27), konsultan yang tinggal di salah satu kos yang dikelola proptech di area Cipete, merasa perlu adanya regulasi soal transparansi meskipun hal ini sulit karena seperti menanyakan mengapa NJOP sebuah wilayah bernilai seperti itu. “Transparansi dari pemilik kosnya, kok bisa harganya segitu. Soalnya, kadang harga mahal itu cuma gara-gara ngikut harga pasar. Dengan makin banyaknya kos-kos baru yang mahal, harga di pasaran jadi naik juga kan,” ujarnya.
Ia sendiri membayar Rp 3 juta per bulan untuk tempat yang ia tinggali. Kadang, karena terpapar iklan kredit kepemilikan rumah yang cicilannya seharga uang kos bulanannya, Nadia jadi merasa kosnya cukup mahal, tapi di sisi lain, ia juga merasa sepadan karena lokasinya di tengah kota dan ia menyukai kamarnya. Berjendela lebar, kemasukan cahaya alami, perabotannya minimalis dan relatif baru.
“Not gonna lie karena estetis kamarnya, terlihat comfy. Aku sempat tinggal di rumah [orang tua] dan berbagi kamar dengan adikku, nah aku pingin punya space buat aku sendiri yang aku suka, jadi estetika penting. Selain itu, kalau spesifik sebagai pekerja di Jakarta, aku cari kos yang dekat transportasi publik dan warung makan karena itu membantu menghemat pengeluaran,” kata Nadia.
Nadia yang introver juga sebetulnya cocok dengan menyewa apartemen di Jakarta Selatan yang kebanyakan sifatnya individualis. ”Jadi nggak perlu basa-basi, hehe, pos penerima paket juga cukup membantu untuk menerima paket, ada pick up laundry, pengelola yang membantu menanggapi komplain. Ada juga cleaning service yang udah termasuk dalam biaya,” jelasnya.
Sementara itu, Ramadani (32), jurnalis dan web editor media di Jakarta, tak keberatan mengeluarkan Rp 4,2 juta tiap bulan untuk sewa kosnya di Ragunan. Berbeda dengan Nadia yang menemukan kosnya dari situs web, Dani mengikuti rekomendasi teman. Ia betah tinggal di kamar berukuran 4,5 x 3 meter itu sejak 2021. Meski setahun terakhir muncul keinginan tinggal di tempat yang lebih luas lagi, ia rasanya tak mau meninggalkan kosnya yang ‘hijau’.
“Aku pingin bigger space biar bisa mengundang temanku ramai-ramai makan, nonton bareng. Tapi kalau pindah ke apartemen susah mencari yang memiliki banyak pohon karena jarang apartemen seperti Bintaro Park View yang memiliki taman dan pepohonan. Di kosku ini ada pohon-pohon yang jadi pemandangan dari kamarku, itu buat hatiku tenang dan nyaman. Apalagi kalau hujan, makin syahdu. Dari pertama survei aja langsung jatuh cinta dan serasa ketemu jodoh,” kata Dani.
Sebelum pindah ke kos Ragunan, Dani ngekos di Kebon Jeruk, Jakarta Barat dengan harga Rp 1,6 juta. Ia memilih kamar depan supaya mendapatkan sinar matahari, tetapi konsekuensinya, ia kena polusi suara dari bengkel las yang berada tepat di depan kosnya. Berisik dan bikin stres. Begitu mendapatkan pekerjaan baru dengan gaji lebih besar, Dani mantap cari kos yang baik buat kesehatan mentalnya. Apalagi Dani work from home, otomatis menghabiskan sebagian besar waktu di kos.
Selain lingkungannya asri, fasilitasnya komplit, yaitu kasur, meja dan kursi kerja, AC, TV, kulkas kecil, lemari, water heater, dapur bersama, kulkas besar di dapur, air minum Pure It, laundry dua kali seminggu, dan jatah listrik Rp 200 ribu per bulan. Karena WFH, pemakaian AC Dani tinggi dan ia seringkali nombok Rp 200 ribu untuk listrik. Namun, Rp 4,4 juta yang ia alokasikan untuk tempat tinggal itu 1/6 atau hampir 17 persen gajinya, sehingga masih aman untuk keuangannya.
“Aku merasa harga segitu worth it karena aku bayar pegawai-pegawainya itu lho. Aku menganggapnya, aku bayar service para pegawai yang kerja di sini. Jadi, harganya mungkin relatif lebih tinggi dibanding kos lain, tapi aku tidak keberatan karena satpam, resepsionis, mbak-mbak laundry, petugas kebersihan, semuanya baik dan mengakomodasi kebutuhanku,” jelasnya.
“Pun nggak pernah ada kejadian barang hilang. Kalau ada keluhan, langsung ditanggapi dengan baik. Itu udah included dalam biayanya. Aku nggak usah ngeluarin uang lagi untuk, misal, AC rusak, keran patah. Ada laundry juga sehingga aku nggak usah capek-capek mikirin itu. Aku bisa benar-benar istirahat gitu selesai bekerja,” imbuhnya. Sesekali Dani ngantor atau pergi keluar kota, dan setiap ia pulang, rasanya lega kamarnya sudah bersih dan rapi.
Sama seperti Nadia, meski mampu membayar cukup mahal untuk sewa tempat tinggal, Dani tetap gelisah dengan fakta sulitnya mencari kosan yang manusiawi dan sesuai kemampuan finansial di Jakarta. Problem yang kerap ia temui saat mencari kos, jarang sekali yang memiliki ventilasi udara dan akses cahaya.
“Makin ke sini harga di pasaran makin nggak masuk akal karena dimonopoli developer kos yang mahal-mahal gitu kan. Mungkin sebagian orang anggap itu biasa, you get what you paid, tapi ya kalau bisa pemerintah mengatur lah,” usulnya.
“Kan aturan seperti itu setahuku nggak ada, ya. Tolong diatur lah, dari tata bangunannya, jangan sampai sirkulasi udara buruk dan nggak ada paparan cahaya matahari. Jadi, buat para landlord, kalau mau membangun kos dan mematok kisaran harga segini, misal, harus mematuhi peraturan yang dibuat tadi. Sama mungkin ada cap atau batas atas harga gitu, biar nggak semau-maunya dalam menetapkan harga,” jelas Dani.